Memahami Sufisme Politik Gus Dur

      Oleh: M. Luqman Hakiem*) 

    Kaidah-kaidah visioner yang sering dilontarkan oleh kalangan Nahdhiyyin (NU), adalah Al-Muhafadzatu ‘alal Qadimis Shalih wal-Akhdzu bil Jadidil Aslah, yang berarti melestarikan nilai-nilai tradisi lama yang baik, dan merespon nilai-nilai baru yang lebih baik. 

    Kaidah yang dijadikan sebagai legitimasi untuk perubahan-perubahan wacana dan kebudayaan NU, ketika menghadapi tantangan zaman. Sesungguhnya kaidah tersebut lebih menekankan pola hubungan-hubungan transformatif Syari'ah (legacy) dalam membangun kerangka sosiologis. Di satu sisi tetap memberikan penghargaan terhadap sejarah masa lalu, makna-makna kultural yang telah dibangun oleh para pendiri Republik, para Kiai, para Agamawan dan para budayawan. Sementara dalam dialektika sejarah, tidak bisa dihindari adanya percepatan rasionalisme Barat dan akulturalisme Islam dan nilai-nilai lokal. Sehingga responsi terhadap pembaharuan mendapatkan tempat terhormat dalam kebudayaan pemikiran NU. 

    Tulisan ini lebih sedikit melompat ke belakang, tanpa harus memutar jarum jam sejarah kebudayaan NU, yaitu perspektif yang lebih fundamental dibanding sekadar kaidah-kaidah sosial dan hukum (fiqhiyah) yang selama ini dijadikan basis kebijakan untuk pengambilan keputusan konstituen NU, melali Bahsul Masail. Yaitu, perspektif Sufisme yang menjadi jiwa dan batin setiap gerakan historis masyarakat NU itu sendiri. Dari sinilah kita akan melihat kepribadian kepemimpinan Gus Dur, yang merefleksikan cara pandang sekaligus style kepribadian yang unik. Bahwa apa yang dipresentasikan Gus Dur adalah kristalisasi dari seluruh nilai-nilai ke-NU-an dalam proses kebangsaan, khususnya dalam konstelasi demokratisasi. 

    Bisa saja nilai-nilai seperti pengembangan pluralisme, toleransi, desakralisasi negara, hubungan antar agama, modernitas dan tradisi lokal, serta perdamaian, hanya akan muncul dalam wacana dan "kepentingan" praktikal, manakala tidak dijembatani oleh kultur yang berbasis pada moralitas tertinggi. Karena itu, Sufisme menjadi nuansa yang paling menarik perhatian Gus Dur untuk dijadikan "titik kordinat" antara nilai-nilai keagamaan dalam tradisi NU dan fakta-fakta ke-Indonesiaan yang plural dalam berdemokrasi. 

    Sebagai salah satu tokoh Sufi di Indonesia, Gus Dur memerankan satu pandangan yang sangat liberal, dibanding - sekadar - berpijak pada tradisi-tradisi formal NU. Liberalitas Gus Dur sesungguhnya tidak lepas dari cara pandang Sufisme terhadap dunia, dengan menerjemahkan lebih substansial apa yang disebut dengan "rahmatan lil'alamin".

    Karena, transformasi nilai-nilai terdalam dibalik cahaya rahmat itu sendiri, dalam tradisi NU justru tumbuh dari cahaya Sufisme yang dijadikan sebagai pegangan moral para Ulama dan Kiai-kiai terdahulu. Bahkan titik kordinat bagi perdamaian agama sekali pun, Sufisme berada di garda depan, sebab perdamaian sesungguhnya tidak pernah maujud dalam fakta ketika kecintaan kepada Tuhan dan sesama makhluk tidak tumbuh dari kedalaman jiwa. Karena perilaku Sufistik itulah, Gus Dur menjadi ancaman bagi seluruh gerakan apa pun yang tidak memihak pada moralitas terdalam. 

    Ketika kebijakan-kebijakan "ke-Sufian" masuk dalam pola kepemimpinannya, maka terjadi benturan-benturan psikologis dengan nuansa-nuansa penyimpangan moral itu sendiri. Karena itu, ketika kita kembali ke masa lalu, kita akan menemukan fakta-fakta sejarah bahwa eksistensi Indonesia, baik sebagai negara maupun sebagai bangsa, akan terlihat bahwa Nation Building mendahului State Building. Dengan bahasa lain, kultur kebangsaan kita telah terbentuk sebelum negara ini terbentuk. Dari sinilah, sehari-hari kita bisa merasakan betapa hubungan-hubungan antar sesama dalam bentuk "rasa batin" mendahului segala hubungan, dari sekadar kepentingan rasional dan teknikal. Bahkan dalam tradisi sosial keagamaan sekali pun, landasan-landasan batiniyah ternyata lebih kuat jaringan kebudayaannya dibanding dengan landasan-landasan ritus-formal. Kelak, landasan-landasan ini begitu kuat tarik menariknya dalam pergulatan politik elit yang memperebutkan hegemoni kebudayaan keagamaan dalam instrumen kekuasaan. 

    Maka, jangan heran jika tarik menarik itu secara verbal tampak dalam konflik politik NU-Muhammadiyah, adalah konflik memperebutkan "kekuasaan nilai" yang harus hegemonik dalam kehidupan bangsa dan ummat. Yaitu perebutan formalitas agama dalam konstelasi bernegara, sehingga bendera-bendera Islam diformalkan dalam partai, slogan dan konstitusi vis a vis kultur "moralitas agama" untuk kebangsaan, dimana kultur agama mendasari perilaku bernegara. 

    Tradisi Wali Songo yang sering dijadikan acuan dakwah NU misalnya, adalah tradisi Sufistik budaya, bahkan dalam pola akulturasi dengan kekuasaan formal dan kebudayaan lokal. Kalau tradisi "halal-haram" diterapkan begitu saja dalam formalitas budaya, agama akan mengalami keterasingan dan kekeringan. Karena itu, para Wali memilih Jalan Sufistik menuju Tuhan, bahkan dalam konstribusinya terhadap pengelolaan kekuasaan di zaman dinasti Islam awal di Jawa, ketika secara de jure Raden Fattah menjadi raja, dan secara de facto para Wali-lah yang memimpin spiritualitas bangsa ketika itu.

    Demokrasi dan Sufisme 

    Disinilah Sufisme menjadi penghubung efektif, ketika demokrasi diterjemahkan dalam hubungan saling menghargai di tengah pluralitas yang sedang bergerak. Sebab, kebebasan, penghargaan terhadap hak-hak kemakhlukan, kecintaan sesama, kehambaan individu, dan sejumlah nilai-nilai yang bisa mempertemukan perspektif bersama hanya pada Sufisme. Sebab hanya Sufisme-lah yang melihat dua titik pandang: Allah dan manusia. Pandangan-pandangan Sufistik itulah yang melampaui "halal-haram", sehingga hubungan kebangsaan tidak dihorisonkan pada belahan-belahan yang saling berhadapan, hitam dan putih. Di sini, jika tidak kita cermati, lompatan-lompatan pemikiran Gus Dur terasa konstroversial, karena di satu sisi ia harus menjadi Kiai Bangsa, di lain pihak ketika ia harus menjadi Presiden. Ketika ia masih menjadi presiden ada posisi dualistik. Posisinya sebagai Kiai Bangsa adalah posisi Sufistik dalam membangun kearifan hidup bersama, sementara tugas-tugas formal kepresidenannya, jelas berhubungan dengan amanat yang dilimpahkan oleh MPR kepadanya. Namun, ketika posisi Kiai Bangsa dinilai lebih menonjol ketimbang kepresidenannya, tiba-tiba gugatan-gugatan muncul sampai pada titik paling kritis. Suatu gugatan "halal-haram" dari lawan-lawan politiknya. 

    Mengapa Gus Dur lebih banyak menonjolkan Kiai Bangsa ketimbang kepresidenannya? Karena kebutuhan bangsa saat ini bukanlah kebutuhan formalitas dan "topeng-topeng" dibalik birokrasi dan penyelenggaraan negara. Setelah tiga dasawarsa bangsa ini dibelenggu oleh formalisme dan ritualisme monopolitik, maka, pertama-tama bangsa ini membutuhkan pencerahan jiwa agar bisa kembali ke fitrah kebangsaannya. 

    Tanpa kesadaran psikhologis akan hakikat berbangsa, demokrasi akan gagal dibangun, apalagi oleh sekadar mayoritas dan minoritas dalam perolehan suara, menang dan kalah belaka. Berarti, Gus Dur tetap mengambil wilayah hati nurani, untuk menjadi jiwa demokrasi. Disebut hati nurani disini, bukanlah ambisi-ambisi batin yang diaksentuasikan dalam jeritan protes atau pemberontakan rasional. Protes-protes apa pun namanya, selalu merujuk pada ketidakadilan. 

    Tetapi penegakan keadilan belaka, ternyata tidak cukup untuk menegakkan rumah kebangsaan. Karena fondasi rumah kebangsaan kita adalah cinta dan kasih sayang, bukan keadilan. Kasih sayang atau rahmat, ketika diimplementasikan dalam proses berdemokrasi, akan melahirkan penghargaan terhadap pluralitas secara adil dan egaliter. Sementara penegakan keadilan tanpa rahmat, hanya melahirkan kemenangan penuh dendam. Inilah yang ingin dihindari Gus Dur, ketika dulu mengadili Soeharto, jangan sampai timbul rasa dendam terhadap tokoh Orba tersebut. Sebab siapa pun merasa tidak mendapatkan ketidakadilan ketika ia harus dihukum, namun harus pula menerima dendam kemanusiaan.

    Dalam kisah legendaris, yang dipresentasikan secara dramatis antara Sunan Kalijogo dengan Syeikh Siti Jenar, terpantul suatu cerminan, bahwa eksekusi terhadap Syeikh Siti Jenar, sedikit pun tidak mengurangi rasa cinta Sunan Kalijogo terhadap kawannya itu. Karena, sesungguhnya jiwa dan hati Sunan Kalijogo dan Syekh Siti Jenar berada dalam dataran yang sama. Dan sebaliknya, sikap demokrat sejati Syeikh Siti Jenar yang secara "berani" menghadapi eksekusi, adalah karena penghargaannya terhadap konstitusi dan hukum para Wali. 

    Maka, di dalam drama eksekusi tersebut, prosedur-prosedur formal tidak boleh mengintervensi aturan-aturan jiwa yang menjadi batin dari suatu keputusan. Karena intervensi rasionalisme terhadap spiritualisme bisa melahirkan emosi-emosi negatif, sebalikinya intervensi spiritualisme terhadap rasionalisme bisa melahirkan kalim-klaim sakralisme dalam bentuk sekularisme yang maniak. 

    Oleh sebab itu, dendam terhadap tokoh yang bersalah, bisa disebut sebagai "dosa demokrasi" ketika penegakan hukum sebagai salah satu lemen demokrasi, justru ditaburi oleh "balas dendam". Sementara fakta yang kita lihat dalam proses demokratisasi kita, justru ada elemen lain yang ditolerir dalam proses penegakan hukum, yaitu proses dendam sejarah. Kenyataan ini menunjukkan adanya pertanyaan besar yang belum dijawab oleh mereka yang ingin menegakkan demokrasi itu sendiri. Nilai-nilai dan roh demokrasi model apakah yang hendak ditegakkan bagi demokrasi Indonesia? 

    Sebagai suatu wacana, Sufisme bisa disebut sebagai wacana baru bagi proses penegakan wacana kedemokrasian kita. Walau pun begitu, -- setidak-tidaknya, -- kita melihat sebagian praktek Sufisme bagi demokrasi itu ada dalam perilaku kepemimpinan Gus Dur. Terlepas suka maupun tidak, sangat tidak demokratis manakala kita bersikap apriori begitu saja terhadap gerakan Demokrasi Gusdurian, sebelum kita memahami secara tulus apa dan siapa Gus Dur dalam konteks kebudayaan dan hakikat-hakikat keagamaan. *** 

    *) M. Luqman Hakiem, MA, adalah Sufiolog dan Pimred Majalah Sufi, tinggal di Jakarta

Komentar