Tragedi Syahidah Jilbab dan Islamfobia di Barat

Thursday, 09 July 2009
Peristiwa tragis menimpa seorang muslimah Mesir Rabu pekan lalu (1/7) di ruang pengadilan di wilayah timur Kota Dresden, Jerman. Marwa al-Sherbini ditikam seorang pria berkebangsaan Jerman keturunan Rusia, bernama Alex W (28 tahun) sebanyak 18 kali. Serangan itu begitu tiba-tiba. Dalam hitungan 30 menit, Alex membantai Sherbini.

Peristiwa berdarah ini terjadi pada saat Sherbini tengah menghadiri sidang pertama pengajuan naik banding atas kasus yang dialaminya. Sebelumnya, Sherbini mengajukan gugatan atas pelecehan Alex terhadap jilbab yang dikenakannya. Alex beberapa kali melakukan penyerangan dengan mencoba merenggut paksa jilbab yang dikenakan Sherbini.

Atas tindakan rasisnya itu, pengadilan Dresden mendenda Alex, imigran asli Rusia, sebesar 730 euro atau sekitar Rp 9,85 juta.Tak puas atas putusan sidang, Alex pun naik banding. Dalam persidangan naik banding pertama itulah, Alex menyerang Sherbini dan menikamnya hingga tewas.

Sang suami yang mencoba menyelamatkan Sherbini yang tengah mengandung tiga bulan itu juga tak luput dari serangan. Malangnya, sang suami mengalami luka serius akibat terkena tembakan petugas yang salah sasaran. Kini, Alex ditahan dan jaksa sedang melakukan investigasi terhadap tersangka pembunuhan itu.

Jenazah Sherbini telah dipulangkan ke tanah kelahirannya di Mesir. Ribuan warga Mesir yang berduka, berbaris di belakang peti mati Sherbini, Senin (6/7). Warga di kampung halamannya marah dengan serangan tersebut dan mengutuk respons pasif Jerman.
Marwa tercatat sebagai dosen di Institut Teknik Genetika Universitas Monoufeya Mesir dan berada di Jerman dalam rangka studi program PhD bidang farmasi dengan beasiswa dari Max Planck Institute.
Saudara lelaki Marwa, Tarek El Sherbini mengungkapkan, kasus ini menjadi pemberitaan di Jerman, karena aparat berwenang di Jerman merahasiakan insiden tersebut. Menurut Tarek, kakaknya dibunuh hanya karena mengenakan jilbab. Tarek menuturkan, "Kami hanya menginginkan hak-haknya dipulihkan, dia dibunuh karena menjalankan ajaran agama Islam."
Menurut Tarek, Marwa adalah saudara perempuan satu-satunya. Marwa memiliki seorang anak laki bernama Mustafa yang masih berusia 3,5 tahun dan saat dibunuh, Marwa sedang hamil tiga bulan. Sementara suami Marwa, Elwi Ali dikabarkan masih dirawat di ruang perawatan intensif di Jerman.
Sementara itu, para pemimpin Muslim mengatakan, pembunuhan terhadap Sherbini merupakan bukti berkembangnya Islamfobia di Barat. Juru bicara Koalisi Melawan Islamfobia, Sami Dabbah mengatakan, ''Apa yang menimpa Sherbini sangat berbahaya. Kami telah mengingatkan bahwa suatu hari, kita akan melihat seorang Muslimah dibunuh karena jilbabnya.''
Tidak bisa dipungkiri, kasus pembunuhan bermotif rasis terhadap Marwa al-Sherbini menunjukkan fenomena Islamofobia yang tengah menjangkiti masyarakat Barat. Sebagaimana dilansir Republika, hari ini (kamis,9/7), sebuah studi yang dilakukan Institut untuk Riset Antar-Disiplin menemukan fakta bahwa warga Eropa cenderung melihat Islam tidak sejalan dengan peradaban dan budaya Barat.

Sebanyak 65 persen dari 3.000 responden dari latar belakang usia, pendidikan dan sosial menolak kehadiran Islam di Eropa. Mereka mengklaim jika prinsip Islam tidak bisa harmoni dengan atmosfer di Barat. Dari studi itu terungkap hanya 25 persen responden yang memperbolehkan imigran Muslim baru masuk ke negara.

Sebagian besar responden beranggapan jumlah pendatang asing telah meningkat di luar batas. Yang lebih menyedihkan lagi, 30 persen responden mendesak agar pemerintah mendeportasi warga asing yang mencari kerja di Jerman. Mereka menilai tingkat pengangguran semakin meninggi dan kesempatan kerja di Jerman semakin menipis

Saat ditanya apakah mereka mau tinggal di distrik yang dipenuhi populasi Muslim seperti Kreuzberg, sebanyak 50 persen menjawab 'tidak'. Selain itu, sebanyak 65 persen responden memiliki keraguan terhadap tetangga Muslim mereka. Sebanyak 30 persen responden mengaku asing di dalam masyarakat yang kian padat dengan kehadiran Muslim di Jerman.

Namun, hasil survey juga memberi beberapa kejutan. Sentimen anti-Islam ternyata meningkat di kalangan kelas menengah di Jerman, bukan hanya terkonsentrasi pada grup ultra-kanan. Studi itu menyimpulkan, stereotip negatif terhadap Muslim tersebar secara luas di warga Jerman, tanpa memandang segmen sosial responden.

Mereka yang mengekspresikan pandangan secara blak-blakan, ironisnya cenderung memiliki latar belakang sosial bersekat, budaya keengganan dan ketakutan untuk melakukan itu sehari-hari. Menurut hitungan survei, jumlah Muslim di Jerman sekitar 5 juta dari populasi total sebesar 82 juta.

Studi juga menemukan fakta bahwa responden menyalahkan beberapa politisi yang membantu meningkatkan sentimen publik terhadap warga asing dan minoritas, sehingga terasa nyata. Dari keseluruhan survei, tim menyimpulkan kecenderungan Islamofobia yang merebak terjadi pula di negara-negara Eropa lain.

Kelompok Muslim Jerman mengkritik pemerintah, petugas, dan media karena tidak memberi perhatian khusus terhadap kejahatan tersebut. Media-media Jerman dan Eropa memperlakukan kasus pembunuhan bermotif rasisme dan Islamofobia sebagai kasus kecil. Islamonline melaporkan, media Barat hanya memuat kasus ini tak lebih dari berita satu-dua kolom di halaman kriminal biasa.
Menyindir sikap pemerintah dan para politisi di Jerman, harian independen di Mesir, El-Shorouk menulis, kalau korbannya Yahudi, barulah dunia gempar. Seorang bloger Mesir bernama Hicham Maged dalam blognya menulis,"Mari kita bayangkan, jika kondisinya dibalik, korban adalah orang Barat yang ditusuk di dunia atau di salah satu negara Timur Tengah oleh seorang Muslim ekstrim."
Mengamini statemen Ketua Dewan Perlindungan Jilbab, Abeer Pharaon, ''Sherbini bukan hanya syahidah jilbab, tapi korban Islamfobia, seperti yang diderita umat Muslim di Eropa.'' (PH/Eramuslim, Republika, islamonline)

Komentar